Jumat, 05 Oktober 2012

SUKU JAWA DI SURINAME


A.        Sejarah Suku jawa di Suriname
Adanya orang Jawa di Suriname ini tak dapat dilepaskan dari adanya perkebunan-perkebunan yang dibuka di sana. Karena tak diperbolehkannya perbudakan di sana, dan orang-orang keturunan Afrika dibebaskan dari perbudakan. Di akhir 1800-an Belanda mulai mendatangkan para kuli kontrak asal Jawa, India dan Tiongkok. Orang Jawa awalnya ditempatkan di Suriname tahun 1880-an dan dipekerjakan di perkebunan gula dan kayu yang banyak di daerah Suriname.
Orang Jawa tiba di Suriname dengan banyak cara, namun banyak yang dipaksa atau diculik dari desa-desa. Tak hanya orang Jawa yang dibawa, namun juga ada orang-orang Madura, Sunda, Batak, dan daerah lain yang keturunannya menjadi orang Jawa semua di sana.
Orang Jawa menyebar di Suriname, sehingga ada desa bernama Tamanredjo dan Tamansari. Ada pula yang berkumpul di Mariƫnburg. Orang Jawa Suriname sesungguhnya tetap ada kerabat di Tanah Jawa walau hidupnya jauh terpisah samudra, itu sebabnya bahasa Jawa tetap lestari di daerah Suriname. Mengetahui Indonesia sudah 'merdeka', banyak orang Jawa yang berpunya kembali ke Indonesia. Kemudian, di tahun 1975 saat Suriname merdeka dari Belanda, orang-orang yang termasuk orang Jawa diberi pilihan, tetap di Suriname atau ikut pindah ke Belanda. Banyak orang Jawa akhirnya pindah ke Belanda, dan lainnya tetap di Suriname. Rata-rata orang Jawa Suriname beragama Islam, walau ada sedikit yang beragama lain.
Yang unik dari orang Jawa Suriname ini, dilarang menikah dengan anak cucu orang sekapal atau satu kerabat. Jadi orang sekapal yang dibawa ke Suriname itu sudah dianggap bersaudara dan anak cucunya dilarang saling menikah. Orang Jawa Suriname berjumlah sampai 15% penduduk Suriname.
Migrasi suku bangsa Jawa ke mancanegara umumnya hanya diketahui berlangsung ke Suriname di Amerika Selatan. Masyarakat Jawa Suriname yang mulai didatangkan sebagai kuli kontrak tahun 1890 sudah mengorganisasi diri pada tahun 1918 dalam perkumpulan bernama Tjintoko Moeljo.
Suasana pabrik kayu lapis di Kota Paramaribo, Republik Suriname, pada tahun 1950-an. Warga Suku Jawa banyak yang bekerja di perbagai sektor industri di Suriname setelah berakhirnya era perkebunan. 
Duta Besar Republik Suriname untuk Republik Indonesia Angelic Caroline Alihusain-del Castilho mengatakan, masyarakat Jawa Suriname terkonsentrasi di sejumlah distrik, seperti Commewijne, Saramacca, dan Nickerie. Selanjutnya masyarakat Jawa mendirikan masjid dan Perkumpulan Islam Indonesia pada tahun 1932. Namun, ada keunikan karena perbedaan soal kiblat bagi masyarakat Jawa di Suriname. 
Suriname berada di sebelah barat Kota Suci Mekkah, Arab Saudi, sedangkan masjid di Indonesia, yang berada di sebelah timur Arab Saudi, memiliki kiblat ke barat.”Akhirnya ada kelompok yang membangun masjid dengan berkiblat ke barat seperti di Jawa. Tetapi, ada juga yang membangun masjid dengan berkiblat ke arah timur sesuai letak Suriname yang berada di barat Arab Saudi. Meski demikian, semua hidup rukun, Selepas Republik Indonesia merdeka, sempat satu rombongan Jawa Suriname kembali ke Tanah Air. Presiden Soekarno memberikan lahan di Sumatera Barat yang dinamakan para migran Jawa Suriname sebagai Tongar. Proyek tersebut gagal sehingga tidak ada rombongan berikut yang kembali dari Suriname ke Indonesia.

Semasa persiapan hingga kemerdekaan Suriname,  banyak warga suku Jawa yang memilih hijrah ke Negeri Belanda. ”Keluarga Jawa Suriname kebanyakan punya kerabat di Holland.  Mereka memiliki kedekatan khusus dengan Belanda sebagai rumah kedua orang Jawa Suriname. Di perkirakan ada sekitar 40.000 orang Jawa Suriname yang tinggal di Belanda saat ini.

Cape of Good Hope adalah tempat pertama kalinya para budak asal Jawa dan Madagaskar mendarat di Afrika Selatan pada sekitar tahun 1652. Para budak tersebut kemudian dinamai etnis Cape Malay. Namun, karena namanya Malay, maka orang-orang Afrika Selatan lebih mengenal Malaysia dibandingkan dengan Indonesia.

Datangnya para budak dari Indonesia disusul dengan pengasingan Syech Yusuf dari Makassar di Cape Town pada 1694 oleh Belanda semakin meneguhkan posisi Indonesia dalam sejarah Afrika Selatan. Bahkan, Syeh Yusuf, ulama muda dan juga pemimpin tentara Kesultanan Banten, juga merupakan penyebar agama Islam pertama di bagian selatan benua hitam ini. Selain Syeh Yusuf, sebenarnya ada nama lain seperti Abdullah Ibn Qadi Abdussalam asal Tidore.

Belanda sangat khawatir dengan perkembangan Islam di Cape Town, kemudian memindahkan dan mengisolasi Syeh Yusuf ke Zandvliet, di luar Cape Town. Namun, upaya Belanda tersebut gagal dan Islam tetap berkembang pesat di Cape Town. Kesadaran sebagai orang asal Indonesia sudah dirasakan oleh beberapa orang Afrika Selatan terutama para Muslim. Bahkan, mereka langsung menyatakan mereka juga keturunan Indonesia khususnya Banten. Memang sebelumnya ada “kesalahpahaman” tentang Malay.asumsi orang selama ini Malay sama dengan Malaysia, dan mereka juga diidentikan dengan keturunan Malaysia. “Namun, kini mereka sudah tahu anggapan itu salah.

Asal usul Cape Malay. “Mungkin karena berasal dari daerah atau kawasan orang-orang Melayu kemudian dinamakan Malay. Sebenarnya pula, para budak tersebut bukan berasal dari etnis Melayu. Para budak disebutkan didatangkan dari Jawa, sedangkan Syeh Yusuf orang Makassar,”

Cape Malay yang sekarang ini juga disebut Cape Muslim, sudah menjadi etnis tersendiri di Afrika Selatan. etnis Cape Malay masuk dalam golongan kulit berwarna (colored), kastanya lebih tinggi dibandingkan dengan kulit hitam, tetapi di bawah kulit putih. Karena “kesalahpahaman” kemudian “klaim” Malaysia, Indonesia harus berjuang untuk memperkenalkan diri. “Mengubah persepsi orang sangat sulit, tetapi mereka akan terus memperkenalkan Indonesia di Afrika Selatan. Indonesia merupakan bagian dari sejarah Afrika Selatan,”


B.      Kehidupan Mayarakat Jawa di Suriname
Kursus Bahasa Jawa di Suriname
Sejak tahun 2000 di buka kursus bahasa Indonesia dan bahasa Jawa untuk warga Suriname. Bertempat di KBRI Paramaribo,  Pesertanya memang tidak banyak dan masih didominasi orang tua. Agar kemampuan berbahasa yang diperoleh dari kursus tidak hilang begitu saja, dibentuk Ikatan Alumni Kursus Bahasa Jawa (IKA-KBJ) dan Ikatan Alumni Kursus Bahasa Indonesia (IKA-KBI). Secara berkala, alumni berkumpul untuk berbicara dalam bahasa Jawa dan Indonesia.
Dari kursus itulah mereka menguasai bahasa Indonesia serta mengerti tata bahasa Jawa sesuai yang berlaku di tempat asalnya. Selama ini penggunakan ejaan Belanda untuk menulis kosa kata bahasa Jawa marak di gunakan oleh masyarakat suku jawa di suriname. kemampuan berbahasa Jawa dan Indonesia itu penting bagi warga keturunan Jawa di Suriname. Meski bukan berkebangsaan Indonesia, mereka tetaplah manusia Jawa. “Manusia Jawa itu punya identitas, salah satunya bahasa Jawa. Maka agar tidak kehilangan identitas, mereka harus menguasai bahasa Jawa,”

C.      Kebudayaan Suku Jawa di Suriname
          Budaya Jawa tumbuh dan berkembang jauh di negeri seberang yang notabene berjarak ribuan kilometer dengan jarak tempuh 23 jam pesawat udara. Tetapi hilang terkikis di tanah kelahirannya. Salah satu hal budaya yang masih sangat kelihatan adalah penggunaan nama seseorang. Di belahan dunia manapun nama menjadikan ciri khas seseorang sebagai warisan budaya yang memberikan ciri kearifan local. Misalkan : Martodikromo, Joyopawiro, Pontjodikromo, Kartosenoto. Di tengah era globalisasi saat ini mereka masih mampu mempertahankan budaya lokalnya masing-masing, walaupun itu hanya sebuah nama, yang merupakan bagian kecil dari budaya yang dimilikinya. Sungguh ironi, budaya penggunaan nama sebagai budaya local saat ini telah hilang tanpa bekas. Sedangkan saudara-saudara kita yang jauh ribuan kilometer dari tanah kelahiran nenek moyangnya masih mampu mempertahankan penggunaan nama tersebut.

            Komunitas masyarakat Jawa di Suriname berusaha untuk tetap mempertahankan budaya.ini di buktikan dengan adanya yayasan-yayasan yang dipakai sebagai penyaluran mereka dalam mengekspresikan budaya tradisional, seperti tarian dan seni bela diri pencak silat.
           
            komunitas Jawa di Suriname kerap mengadakan seminar atau menggelar pameran sosial, politik, serta budaya. Kegiatan-kegiatan, semacam bersih desa, hari orang tua, dan peringatan hari imigrasi pun diadakan setiap tahun. Bahkan demi hormat kepada generasi tua, upacara-upacara rutin, seperti kendurian, masih terus dilanjutkan.

SUMBER : nationalgeographic.co.id/.../komunitas-jawa-di-suriname-/ giewahyudi.com/radio-         dan-televisi-berbahasa-jawa-di-suriname/ luar-negeri.kompasiana.com/.../budaya-jawa-                        bertahan-di-negeri-orang/ id.wikipedia.org/wiki/Jawa_Suriname
.